Wednesday, December 28, 2011

Glæsilegur Kappi

Dream catcher: according to Native American legend, it is believed that dreams both good and bad, float through the air during the night searching for their destination. While sleeping under a dream catcher, placed by the persons head, bad dreams being confused and ill intentioned, get caught in the web to perish with the light of day. The good dreams, knowing the way, easily slip through the centre hole, work their way down the web catching all the good energies of the stones and adornments, float down the feathers into the dreamer’s head. One never need fear bad dreams again, while sleeping under a dream catcher.


Pertama kali saya paham kalo benda itu namanya dream catcher dan gunanya adalah sebagai penangkap mimpi-mimpi itu gara liat blognya perempuan kreatif ini --> Mars Rizkia.

Saya suka karya-karya dia. Rapih, cantik, dan terkonsep dengan baik. Tangan-tangannya berhasil menyihir setiap dream catcher yang dibuatnya hidup dan memiliki cerita. Anyway, karena saya berhasil terhipnotis dengan dream catcher buatannya, saya memesan satu kalung dari onlineshopnya --> Kimilatta. Ini kalung dream catcher yang saya beli.




Pezi by Kimilatta.


Cuma mau ngasih tau kalo Pezi pernah aku ajak jalan-jalan ke Kawah Putih, Ciwidey :p


Kalung dream catcher pertama yang saya beli ini, namanya tetep Pezi. Gak saya utak-atik namanya, karena entah kenapa nama Pezi itu udah cukup mewakili.

Ternyata, saya belum puas dengan memiliki satu dream catcher kalung. Mars juga menerima pesanan untuk dream catcher wall decor. Karena saya ingin punya satu buat digantung di kamar, akhirnya saya memesan satu dream catcher dari Mars dengan pilihan warna yang telah saya tentukan.

Saat mau membuka paket dream catchernya, saya deg-degan. Saya buka pelan-pelan paketnya berharap hasilnya benar-benar seperti apa yang saya bayangkan. Pas saya buka dan lihat dream catchernya, wuih! Bagus! Sesuai dengan perkiraan saya. Pertama kali lihat si dream catcher ini, saya langsung terngiang-ngiang satu kata: "Pejuang". Saya juga gak tahu kenapa bisa kata-kata itu yang tiba-tiba muncul, tapi dia memang terlihat gagah dan berani. Tapi dia elegan, karena setelah berada di bawah matahari, kecantikannya bersinar-sinar. Sampai akhirnya saya memberi dia nama: "Glæsilegur Kappi" dari Bahasa Islandia yang artinya elegant warrior. Bagus kan? ;)









Buat teman-teman yang ingin memesan dream catcher baik dalam bentuk kalung ataupun wall decor, silahkan follow twitternya @Kimilatta atau ke empunya langsung @marsrizkia. Saya jamin gak bakal ada yang kecewa sama hasilnya.

Thursday, December 15, 2011

Mimpi

Biarkan mataku terpejam.
Melayang dalam angan-angan.
Bermimpi akan hidup yang berkecukupan.

Setiap hari adalah sebuah harapan bagi mereka. Harapan akan datangnya pembeli tanpa hobi menawar dengan sadis. Harapan akan datangnya pembeli dermawan yang tidak terlalu menghiraukan kembalian barang seribu atu dua ribu rupiah. Harapan akan datangnya pembeli yang mau berbelanja berbondong-bondong sampai barang mereka habis dilumat.

Mereka menunggu harapan itu terkabul. Mereka menunggu pembeli datang. Tapi, nyatanya sepi. “Mana sih hari ini sepi amat yang mau beli?”, mereka menunggu dalam panas yang menyengat, menunggu diantara deru kendaraan-kendaraan yang mengganggu telinga, menunggu dalam hembusan debu yang membuat mata perih sampai mereka bo........saaaaaann dan akhirnya mata pun menyerah dan memilih untuk terpejam.

Mereka lelap.

Nyaman dalam hiruk pikuk yang menyelimuti mereka setiap hari.

Dalam mimpi, setidaknya mereka tidak bosan. Ada sebuah harapan yang muncul dari angan-angan.









Foto seri yang sengaja dibuat untuk Pameran Fotografi Perdana dari POTRAITS (Photography for International Relations) pada tanggal 13-14 Desember 2011 kemarin di Kampus FISIP UNPAD, Jatinangor.

Friday, December 09, 2011

Keliling Bandung

"Ari, ini kita harus naik apa supaya bisa ke Alun-alun?"

Pertanyaan yang saya lemparkan dengan bodohnya kepada rekan mbolang saya hari itu, Ari. Dengan sangat lugunya saya yang telah empat tahun menuangkan usaha, mengucurkan keringat, dan membuang feses di Jatinangor, masih buta akan rute kendaraan umum di Bandung. Sangat buta kalau bisa dibilang. Apalnya cuma rute itu-itu aja yang sering saya lewati. Sisanya? Bisa nyasar saya di Bandung.

Gara-gara berhasil dibohongi sama Tukang Gorengan di Kiara Condong, saya dan Ari naik angkot rute Cicadas-Elang warna merah gonjreng, semata-mata karena sangat percaya pada petunjuk sang Tukang Goreng. Dalam separuh perjalanan saya dan Ari agak-agak khawatir akan terjadinya kemungkinan nyasar dan akhirnya Ari bertanya pada supir angkot dan meminta untuk diturunkan di jalan yang tepat untuk menaiki angkot berikutnya, yang saya lupa seharusnya naik angkot apa.


gayanya Ari yang sok kece dan saya yang cinta damai


Tiba-tiba saja supir angkot Cicadas-Elang ini menurunkan kita di Jalan Jakarta, persis depan gereja (saya juga masih belum yakin, apa benar itu Jalan Jakarta?). Lalu kami perhatikan seluruh rute angkot yang lewat di sana, kok kayanya gak ada tanda-tanda yang lewat Alun-alun ya? Dan disaat Ari lagi sibuk nyariin angkot, saya malah foto-foto.


Jalan Jakarta yang adem


Daripada diem aja di pinggir Jalan Jakarta, akhirnya saya nanya ke tukang parkir yang lagi sibuk kerja disana.

"Punten Pak, kalau mau ke Alun-alun harus naik angkot apa ya Pak?"
"Kalo angkot mah gak ada Neng, adanya juga beus kota"
"Oh, DAMRI ya pak maksudnya?"
"Iya Neng, naik itu pokoknya... Kalo angkot mah gak ada yang lewat neng....."
"Oh, jadi kalo DAMRI itu pasti lewat alun-alun kan pak?"
"Iya neng, pokoknya langsung depan Alun-alun kok, seriusan..."

Bukannya mau bilang si tukang parkir ini pembohong, hanya saja kami sudah dapet pelajaran akibat terlalu percaya sama Tukang Gorengan. Jangan sampai kami dikibuli lagi oleh tukang-tukangan lainnya.

Akhirnya saya dan Ari nungguin DAMRI lewat, sambil nunggu saya ngambil foto lagi. Sampai akhirnya DAMRI yang ditunggu-tunggu itu datang juga.

Waktu menunjukkan pukul 15.00. Kebetulan cuaca Bandung hari itu tidak mendung seperti biasanya, cerah dan sinar matahari lumayan terik memghangatkan bumi. Dari tempat saya duduk, saya bisa merasakan sinar matahari masuk melalui sela-sela atap jendela DAMRI yang sedikit terbuka.


Semburat sinar matahari membuat saya kesilauan


Ada satu penumpang yang terlihat agak linglung dengan berkali-kali melihat ke luar jendela, memastikan sudah sampai tujuannya apa belum.



Ada tukang penjual buku bahasa Sunda untuk anak SD.




Ada peminta sumbangan untuk anak yatim piatu.



Dan akhirnya saya dan Ari sampai di Alun-alun. Perjalanan ini terlihat simpel namun entah mengapa bagi saya penuh makna. Terima kasih kepada tukang goreng yang mungkin sebenarnya gak tau cara ke Stasiun Hall dari Kiara Condong, terima kasih kepada supir angkot yang menurunkan kami di pinggir Jalan Jakarta, terima kasih pada tukang parkir yang membuat kami naik DAMRI dan sampai tujuan, terima kasih pada seluruh isi DAMRI di sore hari itu, dan terima kasih pada Bandung dengan cuacanya yang cerah.....

Sunday, December 04, 2011

Chanting




Saya rindu kamu. Titik.