Pertanyaan yang saya lemparkan dengan bodohnya kepada rekan mbolang saya hari itu, Ari. Dengan sangat lugunya saya yang telah empat tahun menuangkan usaha, mengucurkan keringat, dan membuang feses di Jatinangor, masih buta akan rute kendaraan umum di Bandung. Sangat buta kalau bisa dibilang. Apalnya cuma rute itu-itu aja yang sering saya lewati. Sisanya? Bisa nyasar saya di Bandung.
Gara-gara berhasil dibohongi sama Tukang Gorengan di Kiara Condong, saya dan Ari naik angkot rute Cicadas-Elang warna merah gonjreng, semata-mata karena sangat percaya pada petunjuk sang Tukang Goreng. Dalam separuh perjalanan saya dan Ari agak-agak khawatir akan terjadinya kemungkinan nyasar dan akhirnya Ari bertanya pada supir angkot dan meminta untuk diturunkan di jalan yang tepat untuk menaiki angkot berikutnya, yang saya lupa seharusnya naik angkot apa.
gayanya Ari yang sok kece dan saya yang cinta damai
Tiba-tiba saja supir angkot Cicadas-Elang ini menurunkan kita di Jalan Jakarta, persis depan gereja (saya juga masih belum yakin, apa benar itu Jalan Jakarta?). Lalu kami perhatikan seluruh rute angkot yang lewat di sana, kok kayanya gak ada tanda-tanda yang lewat Alun-alun ya? Dan disaat Ari lagi sibuk nyariin angkot, saya malah foto-foto.
Jalan Jakarta yang adem
Daripada diem aja di pinggir Jalan Jakarta, akhirnya saya nanya ke tukang parkir yang lagi sibuk kerja disana.
"Punten Pak, kalau mau ke Alun-alun harus naik angkot apa ya Pak?"
"Kalo angkot mah gak ada Neng, adanya juga beus kota"
"Oh, DAMRI ya pak maksudnya?"
"Iya Neng, naik itu pokoknya... Kalo angkot mah gak ada yang lewat neng....."
"Oh, jadi kalo DAMRI itu pasti lewat alun-alun kan pak?"
"Iya neng, pokoknya langsung depan Alun-alun kok, seriusan..."
Bukannya mau bilang si tukang parkir ini pembohong, hanya saja kami sudah dapet pelajaran akibat terlalu percaya sama Tukang Gorengan. Jangan sampai kami dikibuli lagi oleh tukang-tukangan lainnya.
Akhirnya saya dan Ari nungguin DAMRI lewat, sambil nunggu saya ngambil foto lagi. Sampai akhirnya DAMRI yang ditunggu-tunggu itu datang juga.
Waktu menunjukkan pukul 15.00. Kebetulan cuaca Bandung hari itu tidak mendung seperti biasanya, cerah dan sinar matahari lumayan terik memghangatkan bumi. Dari tempat saya duduk, saya bisa merasakan sinar matahari masuk melalui sela-sela atap jendela DAMRI yang sedikit terbuka.
Semburat sinar matahari membuat saya kesilauan
Ada satu penumpang yang terlihat agak linglung dengan berkali-kali melihat ke luar jendela, memastikan sudah sampai tujuannya apa belum.
Ada tukang penjual buku bahasa Sunda untuk anak SD.
Ada peminta sumbangan untuk anak yatim piatu.
Dan akhirnya saya dan Ari sampai di Alun-alun. Perjalanan ini terlihat simpel namun entah mengapa bagi saya penuh makna. Terima kasih kepada tukang goreng yang mungkin sebenarnya gak tau cara ke Stasiun Hall dari Kiara Condong, terima kasih kepada supir angkot yang menurunkan kami di pinggir Jalan Jakarta, terima kasih pada tukang parkir yang membuat kami naik DAMRI dan sampai tujuan, terima kasih pada seluruh isi DAMRI di sore hari itu, dan terima kasih pada Bandung dengan cuacanya yang cerah.....
buku bahasa sundanya kereen ;) jalan- jalan biasa ditulis ayie jadi menarik. nice story (y)
ReplyDeletehaha iya tuh buku bahasa sunda waktu SD -___- thank you yaaa ayrine :DDD
ReplyDeleteNgingetin saya sama cita2 buat kuliah di ITB kak Ayie :)
ReplyDeleteCuma masih bimbang dalam beberapa hal. Huehehe
@putri: pengen kuliah di Bandung ya? Asyik kok! *pdhl mah saya kuliah di Jatinangor*
ReplyDeleteIyaa Di ITB Kak Ayie. Hehehe.
ReplyDeleteDoain ya Kak :D
Buta banget daerah sana nih,
Gak tau Unpad-ITb seberapa jauh. Hahaha
gue yakin lo pas moto itu lagi baca anak entog, yie.
ReplyDelete@opank: gak, gw lagi baca kirik itu benernyaaa....!! mustinya gw sensor yak ituh -__-
ReplyDelete