Gambar ki-ka: Pelabuhan Calaca | Speedboat yang kami gunakan untuk ke Bunaken
Meninggalkan Pelabuhan Calaca
Perjalanan menuju Pulau Bunaken memakan waktu selama 45 menit. Untungnya hari itu suasana sangat cerah dan ombak pun terasa tidak terlalu besar. Saat baru berangkat dari pelabuhan, Pulau Bunaken terasa dekat, ternyata saat sudah diperjalanan terasa jauh juga.
Pemandangan menuju Pulau Bunaken
Sesampainya di Pulau Bunaken, kami langsung disapa oleh penduduk setempat untuk menyantap sarapan. Saya memesan nasi uduk dan segelas teh manis hangat sebelum turun ke air untuk snorkeling. Di Bunaken, harga penyewaan snorkel, fin dan wetsuit sudah seragam dan disediakan oleh dinas pariwisata. Untuk penyewaan snorkel dan fin dikenakan seharga Rp 100.000 dan wetsuit seharga Rp 50.000. Dinas pariwisata juga menyediakan kamera bahwa air yang dapat disewa seharga Rp 350.000. Sejujurnya dibanding saat saya ke Karimun Jawa, wisata ke Bunaken termasuk menguras kantong dan spot untuk snorkeling pun terhitung sangat terbatas.
Dari cerita Fari, di Pulau Bunaken ini hanya ada dua agama yaitu Islam dan Kristen dan tempat tinggalnya dibedakan. Ada kampung Islam dan kampung Kristen. Saat perjalanan menuju Pulau Bunaken pun saya bisa melihat adanya gereja di sebelah kanan pulau dan masjid di sebelah kiri pulau, jadi ada batas jelas antara penduduk beragama Islam dengan penduduk beragama Kristen. Fari juga menyatakan bahwa para pemeluk agama Islam lebih banyak menjadi orang-orang kapal untuk menemani wisatawan dan pemeluk agama Kristen mayoritas menjadi nelayan.
Pulau Bunaken
Akhirnya setelah sarapan saya siap untuk snorkeling. Airnya memang sangat jernih dan terumbu karangnya dapat terlihat jelas walau tanpa menggunakan snorkel. Waktu yang paling tepat untuk snorkeling memang pagi hari, sehingga terumbu karangnya dapat terlihat jelas. Ikan-ikan disini juga terhitung banyak dan dapat dengan mudah dipanggil menggunakan biskuit.
Terumbu Karang di Bunaken
Saya bersama bintang laut dan terumbu karang. Pose muka bengep.
Setelah beberapa jam snorkeling, akhirnya tiba waktu makan siang. Untuk makan siang, kita bisa menikmati ikan bakar dan sambal dabu-dabu khas Bunaken. Ikannya besar. Sambalnya juga sangat pedas. Benar-benar santapan yang mantap setelah lelah berenang di laut.
Gambar ki-ka: Sebelum dibakar | Ikan Bakar Sambal Dabu-Dabu
Akhirnya setelah puas snorkeling dan makan siang saya kembali ke Manado.
Dalam perjalanan pulang, saya baru merasakan ramainya Manado. Angkutan umumnya terhitung banyak dan di Manado disebut "Oto" dan saya tak henti-hentinya bertemu dengan kemacetan. Salah satu sumber kemacetan di Manado adalah karena adanya antrian bahan bakar. Jadi asupan bahan bakar di Manado ini katanya memang dari dulu sudah dibatasi. Sehingga kadang pom bensin harus tutup karena tidak adanya lagi bahan bakar. Karena keterbatasan itu, maka setiap kali ada pom bensin yang buka, seluruh kendaraan akan berbondong-bondong mengantri di pom bensin. Menurut supir angkot yang saya ajak ngobrol saat itu, mereka bisa menunggu 1-2 jam hanya untuk mengisi bahan bakar.
Sepanjang perjalanan pulang, saya juga menyadari bahwa Manado ini terlihat sangat asri dikarenakan banyaknya pepohonan di sisi jalan Manado. Tapi tetap saja buat saya yang akrab dengan udara seduk, Manado terasa sangat panas terutama karena saya berada di kawasan dekat pantai. Pepohonan itu tak banyak membantu dan cukup membuat keringat deras mengalir di tubuh saya.