Thursday, March 31, 2011

Bapak

Akibat sedang mencari motivasi untuk terus rajin mengerjakan skripsi, wajah kedua orang tua saya seperti bolak-balik menghantui saya. Akhirnya, rencana awal untuk kembali memulai mengerjakan skripsi tertunda, karena Ms. Word saya malah terisi dengan cerita-cerita tentang orang tua saya.

Pertama, saya mau menceritakan tentang Bapak saya terlebih dahulu.



Perkenalkan Bapakku: Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc


Sedari awal, beliau sudah berkata: “Saya maunya dipanggil Bapak. Bukan Papah, Papa, Papi, Daddy atau yang lain. Bapak”. Tapi entah kenapa saya dan kakak saya selalu manggilnya: “Pah, pah...” Alhamdulillah Bapak saya tidak pernah mengeluh sih dipanggil begitu.

Bisa dibilang Ayah saya adalah total role model saya. Beliau adalah orang yang sangat cerdas. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Surabaya, Jawa Timur. Saat memilih perguruan tinggi, beliau sangat ingin melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung, namun entah mengapa Bapak saya justru masuk ke Institut Pertanian Bogor di jurusan Teknik Pertanian. Beliau ternyata lulus dengan masa kuliah 3,5 tahun saja!

Namun cerita inilah yang menjadi pelajaran bagi anak-anaknya saat ini. Pada masa kakak dan saya harus memilih perguruan tinggi dan tidak mendapatkan jurusan dan perguruan tinggi yang kita mau, Bapak selalu menceritakan ketidakberhasilannya untuk masuk ke ITB. “Kalau Bapak masuk ITB, belum tentu Bapak bisa menjadi seperti sekarang. Memang rasanya sekarang kamu gak terima gak masuk di universitas yang kamu mau, tapi nanti di masa depan kamu bakal tau betapa beruntungnya kamu kuliah di universitasmu sekarang”.

Bapak saya pernah bercerita, ketika saya dan kakak saya sedang bercerita mata kuliah yang sulit di masa kuliah kami, beliau berkata: “Dulu, Cuma ada satu mata kuliah yang bapak paling nggak ngerti! Ilmu Tanah! Bapak gak ngerti, dan Bapak dapet B!”, serentak kakak dan saya bertanya: “Loh, B? Gak sulit lah Pa...” dan dijawab dengan entengnya: “Loh, dulu saat itu nilai mutu saya A semua...!” Oh... Ya... Cukup bikin kita sedikit gendek karena prestasinya pada masa kuliahnya dahulu, membuat saya dan kakak saya ingin berteriak saat itu juga: “Kenapa saya gak bisa kaya Bapak sayaaaaaaaaa??!!

Selanjutnya, Bapak saya melanjutkan pendidikannya di Canada. Beliau mendapatkan beasiswa S2 dan S3nya sekaligus di University of New Brunswick, Canada dan beliau pindah haluan ke jurusan Computer Science. Akibat beasiswa beliaulah, saya jadi bisa numpang lahir di Fredericton, Canada. Beliau bercerita, hidupnya saat di Canada tidaklah mudah. Beliau pernah menjadi janitor demi melanjutkan kehidupannya disana.

Beliau juga pernah secara tiba-tiba menelpon saya ketika saya sedang berada di Jatinangor... Beliau bercerita bagaimana susahnya saat itu mengerjakan thesis, karena saat itu Bapak saya belum terlalu fasih dalam berbahasa Inggris. Katanya, setelah beliau memberikan draft thesis ke Dosen Pembimbimngnya, draft tersebut tidak dicoret bahkan segaris pun oleh Dosen Pembimbingnya. Katanya, tulisan Bapak saya tidak bisa dimengerti sama sekali. Dosen Pembimbingnya hanya berkata: “Think about it again..”. Wah, saya baru dicoret-coret banyak sekali sama Dosen Pembimbing sudah bingung bukan main, apalagi Bapak saya ya? Harus memakai Bahasa Inggris dan tidak ada coretan sama sekali! Itu jauh lebih membingungkan.

Dari cerita diatas, terlihat Bapak saya adalah orang yang sangat peduli dengan akademis. Ya, dalam kehidupan saya dan kakak saya, kami selalu didukung penuh dalam hal akademis. Apapun yang berhubungan dengan pendidikan kami, tidak pernah sungkan-sungkan ia berikan. Namun, satu hal yang saya sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak saya, Bapak saya tidak pernah sama sekali mempermasalahkan IPK anak-anaknya. Keinginan Bapak saya yang paling utama adalah kami lulus menjadi sarjana. IPK bagus itu hanya nilai tambah. Makanya, mau sejelek apapun IPK anak-anaknya, Bapak (dan Ibu saya) tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, dan tidak pernah meminta kita untuk harus memiliki IPK tinggi. Saya rasa Bapak dan Ibu saya pun sudah bisa mengukur kemampuan anaknya.




Bapak lagi lompot di Bromo. Terlihat sangat ceria :D


Bapak saya adalah orang yang tidak pernah lelah memberikan motivasi. Ada satu kalimat yang selalu saya ingat sampai saat ini dan menjadi kunci motivasi saya: “Ubah kebingunganmu menjadi energi positif Nis. Kamu pasti bisa”. Saat Bapak saya mengucapkan kalimat tersebut, jujur, saya merinding. Saya bahkan hampir menangis. Betapa bersyukur saya memiliki Bapak seperti beliau. Betapa bersyukurnya saya memiliki Bapak yang tidak pernah sungkan-sungkan berbicara dengan anaknya, mau berkomunikasi dengan baik dengan anak-anaknya, mau berdiskusi dengan anak-anaknya... Alhamdulillah.

Tidak sampai disitu, Bapak saya juga sangat gape akan hal agama. Ketika kami memiliki masalah-masalah Bapak adalah tempat curhat yang baik. Sebagai pembuka, beliau pasti akan memberikan jalan keluar secara logis, namun setelah itu beliau akan menambahkan pandangan-pandangan dari agama yang membuat kami semakin yakin bahwa beliau sangat berusaha untuk memberikan jalan yang terbaik bagi kami.

Saya sangat bersyukur tumbuh dalam keluarga yang religius, Bapak dan Ibu saya benar-benar memberikan pedoman dalam kehidupan kami. Bapak saya sangat mengutamakan mengaji. Beliau tidak pernah lupa mengingatkan kami untuk mengaji walau dalam kesibukan. Karena, beliau pun dalam kesibukannya yang padat, tidak pernah lupa mengaji.

Walau kami tumbuh dalam keluarga religius, Bapak sangat mencoba untuk mengerti kehidupan anak-anaknya. Apabila dalam bayangan orang-orang umum “keluarga religius” adalah seperti tidak boleh menonton bioskop, tidak boleh menonton konser, tidak boleh jalan-jalan, tidak boleh menikmati hal-hal duniawi, maka keluarga saya pun jauh dari itu. Hiburan-hiburan apapun boleh kami nikmati, selama jauh dari hal mudharat. Bapak juga senang berjalan-jalan, namun karena kesibukannya, kadang acara jalan-jalan suka tertunda. Disaat saya meminta ingin liburan dan ke pantai, Bapak bersedia menyetir entah selama berapa jam untuk berliburan. Sungguh, Bapak yang sangat baik hati bukan?

Bapak juga mencoba untuk akrab dengan teman-teman saya. Bapak tidak pernah menjadi orang yang kaku didepan teman-teman saya. Bapak selalu mengeluarkan canda-candaannya sehingga teman-teman saya tidak sungkan didepan Bapak saya. Bahkan Bapak sering menanyakan kabar teman-teman saya.



Bapak dan Aku :*


Oh ya, Bapak selalu bahagia kalau melihat saya ada di rumah. Setiap Bapak pulang bekerja dan tahu saya ada dirumah, saya akan membukakan pintu rumah sambil berteriak: “Bapaaaaaaaaaaaaak!” dan Bapak saya akan menjawab dengan senyuman lebar: “Annisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, kamu kapan sampenya?”. Dengan dialog sependek itu pun, saya sudah tau, saya sudah sangat tau betapa Bapak mencintai saya, betapa Bapak merindukan anaknya yang sedang kuliah jauh dari orang tua, betapa Bapak ingin mendengar kabar dari saya... Ah, saya bahkan gak percaya saya nangis saat nulis ini.

Akhir kata, terima kasih Bapak. Terima kasih untuk semua dukungannya. Terima kasih atas kepercayaannya. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih..... Entah harus berapa terima kasih yang harus saya berikan buat Bapak... Cium hangat dari Annisa pa... :*

Nanti cerita tentang Ibu saya menyusul ya!

4 comments:

  1. ayieee,kayaknya bapak kita satu tipe ya; maunya dipanggil 'bapak' bukan papa, penyemangat, sama agamanya getol :D

    ReplyDelete
  2. Oh ya? Hihihi, salam buat bapakmu ya kalau gituuu.. *sok kenal* Pasti bapakmu orangnya ramaaah :D

    ReplyDelete
  3. jadi inget sama bapak di kampung, tetap jd inspirasi, dan motivasi spya tetap semangat kuliah..,

    ReplyDelete
  4. @om yono: iya dooong bapak selalu menjadi penyemangaat!

    ReplyDelete

Thank you :)