Tiba-tiba saja saya melihat sebuah hamparan luas yang gersang dan hanya diisi oleh beberapa tukang becak yang sibuk mencari penumpang. Oh ya tukang becak disana, sangat aktif menghampiri para wisatawan, seperti: “Alun-alun, malioboro, keraton, bakpia, 5000 saja”. Seperti itu, bagi kalian semua yang malas naik becak, lebih baik jawab dengan nada halus.. “mboten pak...”, jangan menggunakan intonasi yang tinggi atau membawa bahasa-bahasa daerahmu yang terkenal kasar, seperti: “mboten cok!” (mana mungkin juga ya ada yang begini).
Oke, saya gak akan pernah sadar kalau ternyata hamparan gersang itu adalah Alun-alun kecuali Prada memberi tahu kami. Saya cuman bisa ngomong: “Hah? Ini alun-alun? Gersang gini?”. Dalam otak saya, yang namanya alun-alun itu banyak pedagang kaki lama, terus banyak kursi-kursi supaya para pengunjung bisa berlama-lama duduk dan mengobrol dengan pacar atau teman-teman, atau setidaknya ada kehidupan masyarakat di alun-alun. Namun alun-alun Jogjakarta tidak, saya juga tidak mengerti kenapa. Tapi saya gak kecewa, karena tempat selain alun-alun pun sudah begitu ramai, seperti Malioboro yang sangat ramai.
Perjalanan kami lanjutkan ke Keraton. Tiket masuk ke Keraton adalah seharga Rp 2.000, tapi bagi yang ingin memotret atau membawa kamera harus membayar lagi “tiket memotret” seharga Rp 1.000 dan bagi “tiket merekam” seharga Rp 2.000. Mau jujur lagi sih, Keraton Yogyakarta ini terlihat kurang terawat. Tidak terlalu bersih dan tanahnya dibiarkan gersang dan tidak segar. Hanya saja, entah kenapa saya gak bisa bilang saya gak suka. Saya suka Keraton ini, entah dari segi apa.
Begitu masuk Keraton, kami disuguhi patung-patung yang menggunakan baju-baju adat para penghuni Keraton. Seperti para perwira, dll. Saya lihat ada beberapa baju yang masih kental suasana Belandanya. Cuman saja, patung-patung ini terlihat menyeramkan. Kata teman kami, Prada, patung-patung ini bola matanya dibuat khusus agar terlihat seperti mengikuti kami ketika kami bergerak. Hiii, saya rada serem liatin patung itu terus-terusan.
Selanjutnya, kami disuguhi pahatan atau ukiran tentang Serang Umum Satu Maret. Kata teman kami lagi, Prada, pahatan tersebut ada beberapa yang diubah alur ceritanya pasca Presiden Soeharto. Namun dia sedikit lupa, bagian yang mana. Yang jelas, ada yang diubah.
Setelah itu kami masuk sedikit lebih dalam, dimana kami memasuki ini Keraton Yogyakarta. Tempat ini biasanya digunakan untuk upacara-upacara Keraton dan tidak boleh dimasuki oleh orang-orang umum. Sehingga saat kami sampai disana, ada pagar-pagar yang melarang kami untuk masuk ke dalam bagian tersebut. Jadi kami hanya memutar dan memutuskan untuk keluar dari Keraton Yogyakarta.
Namun, ada cerita menarik yang disampaikan oleh Prada. Konon, Gunung Merapi, Tugu, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Parangtritis merupakan satu garis lurus. Katanya sih, orang-orang Yogyakarta menyukai hal-hal yang simetris. Namun pada masa zaman jajahan Belanda, Belanda membangun Stasiun Tugu yang memotong garis lurus tersebut, sehingga kata Prada sih, orang-orang Yogyakarta saat itu tidak terlalu menyetujui adanya Stasiun Tugu.
Oh ya, maaf tidak ada foto. Kalau saya mau jujur, semenjak memasuki daerah alun-alun, saya ngerasa ada yang beda. Entah karena apa, tapi saya merasa enggan untuk foto-foto. Saya ngerasa dimensinya kok kayanya beda daripada Malioboro. Pokoknya saya sungkan, ragu-ragu lah intinya untuk motret. Saya juga gak tau kenapa, biasanya saya gak tahan buat ngambil gambar dimanapun saya berada. Tapi entah kenapa, kali ini... saya ngerasa... suasananya... mistis... Hiiiiiii!
Nah, setelah itu perjalanan kami berhenti karena Prada dan Ariawan harus sholat dzuhur. Saya dan Dewa membeli es dawet disekitar Keraton Yogyakarta, yang ternyata tidak terlalu segar dan saya sedikit kecewa, karena saya sudah kelelahan jalan melulu daritadi, mana panas lagi cuacanya. Tapi ya segelas es dawet yang tidak segar tidak akan meruntuhkan semangat saya untuk jalan lebih jauh ke Tamansari!
Yak, kami jalan kaki ke Tamansari. Awalnya saya pikir Keraton dan Tamansari itu dekat, apalagi ngeliat Prada dan Ari yang sudah mengerti Jogja santai-santai saja mengajak kami jalan kaki. Ternyata, rasanya...... Perjalanan kami membuat kaki saya seakan-akan mau meletus (iya saya tau saya lebay), tapi saya emang gak pernah bener-bener jalan sejauh itu... Tapi ya gimana, saya tetep excited karena saya pengen banget liat Tamansari.
Sesampainya disana, ternyata Tamansari sedang ramai. Mungkin karena hari Sabtu ya, banyak murid-murid SMA yang sedang jalan-jalan di Tamansari. Banyak juga wisatawan dari benua lain berdatangan mengunjungi Tamansari.
Kami memasuki Tamansari dengan tiket seharga Rp 4.000 saja. Ternyata saat kami masuk, kami melihat beberapa anak muda sedang menggambar bersama. Kami nebak-nebak sih, palingan mereka anak ISI yang lagi pada mau ngerjain tugas. Tapi yah itu, hanya kesoktauan kami saja. Gak tau benernya gimana.
Taman Sari
Kolam di Taman Sari
Yang jelas, tamansari ini..... memikat sekali. Kebetulan hari itu, kolam-kolamnya diisi air. Kata Prada, biasanya gak selalu. Wuih, pas liat airnya yang jernih, rasanya saya pengen nyebur saat itu juga. Kayanya segar dan dingin. Lalu kami memutar kolam tersebut, di sisi kiri kolam tersebut, ada kolam kecil lain dan ada sejenis tower dengan tiga lantai saja. Kami naik ke tower tersebut dan duduk-duduk di tower tersebut dengan pemandangan kolam utama. Wih, enak sekali duduk-duduk disana, anginnya terasa sejuk. Kami menghayal ingin memiliki kamar seperti ini. Luas, ada jendela-jendelanya, sejuk, pemandangannya kolam, bahkan si Ariawan berharap masih ada putri-putri yang mandi disana.
Selanjutnya kami pergi ke sisi kanan kolam utama, dimana hanya ada satu bangunan dan itupun tidak ada apa-apa lagi. Kalau ditebak sih, itu tempat ganti bajunya. Setelah itu kami masuk lebih dalam. Ada sebuah taman disana dan kami berfoto-foto disana. Prada dan Ariawan bilang ada bagian tangga memutarnya, tapi mereka gak tahu letak persisnya dimana. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami ditunjukkan jalan menuju kesana dan mengikuti sepasang wisatawan dari Jepang dengan tour guidenya yang tampaknya sih bakal kesana juga. Eh setelah kami ikuti, kami memang masuk ke gua-gua begitu, tapi kami gak nemu tangga putarnya! Kita malah keluar dari lokasi Tamansari dan begitu melihat ke belakang, bangunan yang ingin kami datangi ternyata sudah jauh dibelakang. Oh Tuhan.... Kami semua menyerah saking kaki ini udah panas dan kapalan (lebay).
Yak perjalan siang ini selesai. Tapi Dewa ngotot, pengen mengunjungi Galeria. Katanya, semasa dia kecil, kalo ke Yogya dia sering pergi ke Galeria. Jadi dia pengen tau sekarang bentuknya kaya apa. Akhirnya, dengan sedikit bingung atas motivasinya ke Galeria yang hanyalah sebuah mall kecil, kami tetap menemani Dewa kesana. Kali ini, kami menggunakan Trans Jogja, bukan menggunakan kaki lagi.
Di Galeria, kami hanya duduk di KFC sambil bercerita tentang banyak hal. Dan setelah selesai makan, kami melanjutkan perjalanan kami untuk pulang ke penginapan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak, membersihkan diri alias mandi, dan kembali keluar pada malam hari.
Sesampainya di penginapan, kami mandi dan tertidur di atas tidur yang tidak empuk dan tidak pula keras. Sampai akhirnya tiba-tiba Dewa membangunkanku, “Yie, yie.. mau makan jam berapa?”, aku langsung beranjak dari tempat tidur, mengecek jam di telepon genggamku.. loh ternyata sudah jam setengah 8! Pantas perutku sudah krucuk-krucuk minta diisi makanan. Eh tapi setelah aku lihat Dewa lagi, dia kembali tertidur dengan mulut sedikit menganga dan terlihat sangat asyik dalam alam tidurnya. Ya, macam mana pula diaaa.... Padahal dia yang tadi minta makan malam, eh taunya dia malah tidur.
Jogjakarta di malam hari
Pernak-pernik di Malioboro
Akhirnya, kami melihat kehidupan malam Jogja! Kami rencanya mau makan di angkringan, Ariawan yang sudah sangat mengerti Jogja mengajak kami jalan saja, awalnya saya udah mau marah-marah, bilang-bilang deket taunya kaya tadi siang! Beribu-ribu kilometer jauhnya! (Lebay). Eh ternyata angkringannya memang deket.
Wih ternyata ruameeeeeeeeeeeeee, kata Ariawan jam 3 pagi angkringannya baru sepi. Angkringan ini modelnya kayanya pedangan kaki lima. Tapi nasi, gorengan, sate-satean, dijajarin dan kita ambil sendiri. Tapi jangan lupa ngambil apa aja, karena bayarnya kalo udah beres makan. Jujur, saya cintaaaaaa sekali sama suasana malam itu di angkringan. Sangat bersahabat, sangat membumi, sangat akrab... Jogja seperti sedang memeluk penduduknya, untuk saling mengenal, saling mengisi, saling tertawa... Ah, aku jatuh cinta sama Jogja.
Makananku di Angkringan
Malam itu saya makan nasi 1 bungkus, gorengan 2, dan satu tusuk sate telur puyuh. Minumnya, aku pesan 2: teh manis hangat dan tape hangat! Enaaak dan nikmaaaaat sekali. Oh ya kalo Ariawan, dia porsi makannya banyak! Dia makan nasi 2 bungkus, gorengan 2, sate telur puyuhnya gak tau berapa. Kalau Dewa, dia gak jauh beda dari aku, tapi dia mesen KOPI JOSS! Awalnya aku penasaran, apa sih bedanya kopi joss sama kopi biasa pada umumnya? Ternyata eh ternyata, ARANG PANAS dimasukkin ke kopi hitam! Hiiiiiiiiiiiiiiii... Aku gak ngebayangin, masa aku minum arang! Hikkkk... Sereeem, panas pulaaaak... Tapi kata Dewa sih rasa arangnya gak ada tuh.. Ya rasa kopi aja. Iya deh percaya aja... Toh saya gak terlalu suka kopi hitam. Bagi kalian yang suka kehidupan di malam hari, please, dateng ke Angkringan ini... Saya yakin kalian bakal jatuh cinta sama Jogja...
Tuju Jogja di malam hari
Kami pergi dari Angkringan sekitar jam 11an, dan berjalan menuju monumen tugu. Awalnya sih pengen foto disana dan lagi-lagi Ariawan dan Prada bilang dekat menuju kesana, eh ternyata jauhnya lumayan.. Hadeuh, kakiku yang sabar yaaaa... Nyampe tugu, eh tak pikir rada aman buat foto disana, taunya gak... Langsung jalan begitu, dan kebetulan aku gak bawa lensa wide, lagi make lensa fix 50mm pula... Gak bisa lah aku foto di tugunya kecuali mau ketabrak mobil.. Mana itu di perempatan... Bisa mati aku ditubruk mobil...
Eh tapi, ada hal baru yang aku tau.. Di Jogja itu banyak sekali geng motor dan sepeda... Jangan bayangkan geng motornya orang Bandung, karena geng motornya Jogja gak seperti itu... Mereka palingan ngumpul dimana, touring, atau konvoi bareng kemana gitu... Dan rameeeeeeeeeeeeeeee, sekali sepanjang perjalanan malam saya di Jogja, saya banyak banget lihat kumpulan pemotor dan pesepeda di jalanan. Jogja terlihat begitu menyenangkan...
Lalu setelah batal foto-foto di Tugu, kami berjalan menuju Kali Code. Saya pikir kalinya kaya apa gitu, eh taunya biasa aja ding. Kaya kali-kali pada umumnya, cuman emang kemarena ada endapan pasir-pasir dari Gunung Merapi... Gitu, yah tapi sekitar Kali Code itu memang banyak anak muda kumpul-kumpul.. Sekedar duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol sama teman-teman... Ah, sekali lagi.. Saya jatuh cinta sama Jogja...
Setelah dari Kali Code, Prada mengajak kita duduk-duduk di tempat makan Raminten. Saya sudah pernah dengar tentang Raminten, berkali-kali, tapi belum pernah sempat kesana. Eh ternyata saat sampai sana, RUAMEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE. Waiting Listnya puanjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget, udah kaya antri nonton 2PM pas konser Suede kemaren (lebay). Intinya, kami malas, toh kita juga gak mau makan banyak-banyak, cuma mau cari tempat duduk aja buat ngobrol... Akhirnya kami gak jadi kemana-mana... Kami memutuskan untuk langsung pulang ke penginapan... Dan kalian tahu apa? Saya jalan lagi... Yeah, betisku bengkak!
Sesampainya di penginapan, kami rapih-rapih dan akhirnya tertidur lelap karena kaki saya sudah teriak-teriak minta diistirahatkan.
Sebelum tidur, saya tak berhentinya berucap: Terima Kasih Tuhan, hari ini menyenangkan! Bersama teman-teman terbaik, menikmati ini semua... Terima Kasih Tuhan, terima kasih!
Bersambung ke Jogjakarta Part IV
Awesome information..
ReplyDeleteKeep writing and giving us an amazing information like this..