Entah apa yang dipikirkan Dewa saat itu, tetapi saat pertanyaan itu terlontar, saya cuma bisa noleh ke orang disamping saya, Ariawan dan menjawab: “Hayuk!”.
Kami tidak terlalu banyak memikirkan apa-apa malam itu. Yang jelas pembicaraan itu terjadi pada Rabu malam dan Dewa jelas-jelas ingin berangkat Jum’at malam. Saya dan Ariawan angka ikut, karena kami memang bersedia untuk pergi.
Ki-ka: INILAH TIM JOGJA NEKAT --> Ariawan, Dewa, dan Saya. Yang bulat cuma saya dan Dewa, yang pipih-pipih itu bagiannya Ariawan :p
Kesepakatan kami malam itu, kami akan naik kereta ekonomi dan mencari penginapan disana. Ariawan dipanasi oleh dua cewek mengintimidasi dengan menyewa 1 kamar saja untuk kami bertiga, karena awalnya dia ingin sewa kamar berbeda dengan kami. Namun demi mengurangi pengeluaran, kami memaksa Ariawan untuk menyewa satu kamar saja. Dan, ya, dia nurut!
Saat hari Jum’at datang, kami sibuk mengobrol dalam pesan singkat via telepon genggam. Isinya tidak jauh dari, “Heh, mau berangkat jam berapa? Jangan bilang gak jadi berangkat”. Yak, kami bertiga tidak ada yang tidak antusias untuk berangkat ke Jogja. Saya, sebelum ada kepastian mau berangkat jam berapa sudah terlebih dahulu mengemas barang-barang yang akan saya bawa ke Jogja, bahkan kamera sudah saya siapkan dengan mengisi baterainya terlebih dahulu, membersihkan kamera dan tentu saja membawa aksesoris-aksesorisnya. Saya sangat semangat untuk berangkat!
Sekitar jam 3 sore, kami belum juga menentukan untuk berangkat jam berapa. Kami memutuskan untuk bertemu di Griya untuk membeli camilan-camilan dan membicarakan keberangkatan kami. Di Griya, kami berunding: “Eh siapa yang bawa sabun?”, “Gw bawa kok botol sampo”, “odol juga gw bawa kok”, “yaudah kalo gitu gw gak usah bawa sampo”, “eh kalian bawa baju berapa?”, “pake sendal apa sepatu?”. Pertanyaan-pertanyaan biasa, namun hal terpenting yang seharusnya kita bicarakan tidak kunjung kita bicarakan.
Sampai akhirnya setelah beres berbelanja di Griya (padahal hanya membeli roti-rotian dan Aqua Botol Besar), barulah pertanyaan penting tersebut dilontarkan: “Jadi, kita mau berangkat jam berapa?”. Akhirnya kami sepakat, sesampainya dikosan masing-masing dan selesai bersiap-siap, semuanya harus langsung berangkat tanpa tedeng aling-aling. Langsung capcus! Gak pake yang lain dulu.
Dan akhirnya jam 5 sore kami sudah ada di Bis ekonomi Tasik-Jakarta yang melintasi Padalarang. Kami akan menaiki kereta ekonomi dari stasiun Padalarang yang katanya sih berangkat jam 8, dan karena ini kereta ekonomi, kami harus berangkat lebih awal supaya dapet kursi. Karena kalo kereta ekonomi sih katanya sistem beli tiketnya siapa cepat dia dapat, kalo kursi udah habis ya terpaksa ngampar di lantai kereta. Makanya, kami berangkat lebih cepat.
Satu hal yang membuat saya sangat senang dengan keberangkatan kami sore itu, langit Cileunyi sangat-sangat indah. Matahari senja tertutup kumpulan-kumpulan awan dan membuat langit berwarna oranye, kuning, abu-abu, biru, pink, bahkan ungu! Saya yakin, senja itu sengaja dikirim Tuhan untuk mengiringi keberangkatan kami ke Jogja. Sepanjang perjalanan ke Padalarang, saya terus menikmati langit senja itu sampai akhirnya saya ketiduran di dalam bis tersebut...
Singkat cerita, untuk menuju stasiun kami menaiki angkot satu kali saja dan langsung sampai di depan Stasiun Padalarang.
Kami pergi ke loket dan ternyata, eng ing eng, tiket duduk kereta Padalarang-Madiun yang bernama Kahuripan sudah HABIS! Yak sudah habis sodara-sodara! Kandas sudah keinginan kita untuk mengambil tempat duduk terlebih dahulu... Akhirnya, kami tetap beli tiket dan yasudahlah ngampar di lantai pun jadi. Dengan tiket Padalarang-Yogyakarta seharga Rp 29.000 di tangan, kami dengan percaya dirinya masuk ke dalam kereta ekonomi Kahuripan.
Menurut saya, inilah bagian paling seru dalam perjalanan kami.
Ketika kami memasuki si gagah Kahuripan belum begitu banyak penumpang yang duduk. Sehingga kami menentukan untuk duduk di kursi terlebih dahulu, apabila empunya kursi sudah datang barulah kami akan pindah duduk di lantai. Baru saja kami duduk kurang lebih 3 menit, ternyata abang-abang penjual minuman berkata: “Duduk dimana memangnya?”, lalu Ariawan, satu-satunya lelaki dalam rombongan nekat ke Jogja ini menjawab: “Kami dapetnya tiket yang gak duduk”, dan abang-abang penjual minuman itu berkata: “Gerbong ini sudah dibeli borongan oleh orang-orang yang ke Madiun, ada 2 gerbong mungkin yang sudah dibeli untuk rombongan Madiun itu.. Lebih baik duduk di restorasi saja..”. Kami akhirnya mencoba untuk pergi ke restorasi. Ariawan, yang sudah lebih mengerti berkata restorasi adalah gerbong restoran, namun untuk duduk disana harus bayar lebih lagi, sekitar Rp 10.000-Rp 20.000. Eh belum juga kami sampai ke restorasi, ada abang-abang penjual minuman yang lain berkata: “Mau ke restorasi? Udah penuh. Lebih baik ke gerbong paling belakang yang gelap itu. Itu gerbong barang, nanti selepas Kiara Condong masuk saja ke situ. Jangan duduk di lantai gerbong duduk, ramai sekali”. Akhirnya kami kembali lagi ke gerbong belakang.
Lagi-lagi Ariawan, satu-satunya kuda hitam dalam rombongan nekat Jogja ini menentukan untuk melihat terlebih dahulu kondisi gerbong barang yang sangat gelap itu. Setelah melihat gerbong tersebut, Ariawan berkata: “Yah, memang lebih enak duduk disitu. Gak ada tempat duduk sama sekali. Luas lah buat kita ngampar..”. Yak dan akhirnya kita tentukan untuk langsung masuk ke gerbong barang.
Penumpang-penumpang lain pun akhirnya banyak yang ikut masuk ke gerbong barang itu. Kalau saya boleh jujur, gerbong barang itu banyak sampah. Bau lembab, bahkan saya yakin ada sedikit-sedikit bau pesing tercampur disitu. Tapi yasudahlah, sudah sampai sana mau apalagi. Kami cari penjual koran, untuk menjadi alas duduk kami di dalam gerbong barang nan busuk itu. Yah, penekanan busuk ini cuma penggambaran aja kok, aslinya sih ya itu bau sampah dan lembab aja yang saling melengkapi satu sama lain.
Duduklah kami dengan santainya di gerbong barang itu. Sampai petugas kereta tiba-tiba datang: “Maaf ya Pak, Bu, tidak boleh ada yang duduk di gerbong barang. Nanti akan ada pemeriksaan dan tidak boleh ada yang duduk disini. Ini bukan gerbong duduk, tapi gerbong barang!”. Dan lagi-lagi Ariawan bertanya: “Tapi nanti setelah pemeriksaan kami boleh duduk disini lagi Pak?”, dan Bapak itu menjawab......................... EH SAYA LUPA LOH! Hahaha, intinya, selepas Kiara Condong kami boleh masuk lagi ke dalam gerbong barang itu. Yang penting tidak boleh ketahuan aja sama tim pemeriksa itu.
Okelah, akhirnya kami keluar lagi dari gerbong barang dan berdiri di penghubungung gerbong. Kami mengobrol dengan bapak-bapak dengan rambut potongan tentara yang juga ingin duduk di gerbong barang. Obrolan yang terjadi sih klise: “Mau kemana nih adek-adek?”, intinya kami tahu dia mau ke Madiun, pemberhentian paling terakhir dari kereta Kahuripan ini. Intinya, bapak-bapak yang kemungkinan tentara ini berkata bahwa selepas Kiara Condong kita bisa duduk lagi di dalam gerbong barang itu. Ya, percaya ajalah kami. Toh kami juga gak mau berdiri atau duduk di lantai gerbong duduk, karena sempit.
Eh belum sampai Kiara Condong, ternyata penumpang-penumpang sudah banyak yang bernafsu masuk ke gerbong barang. Karena kami gak mau kehilangan tempat untuk ngampar, kami pun ikut masuk ke dalam gerbong barang. Kami duduk lagi dengan manis, koran sebagai alas, dan kami yang kelaparan pun menikmati roti yang tadi sore sudah kami beli di Griya.
Selama perjalanan kereta ke Kiara Condong, kami tidak terlalu banyak bicara. Mungkin karena gelap, dan kami tidak duduk berhadapan tapi berjejeran. Jadi sulit untuk melihat muka satu sama lain. Sampai tiba-tiba, petugas kereta itu masuk lagi... “Nanti di stasiun Bandung dan Kiara Condong, jangan ada yang bicara ya! Diam dan duduk saja”. Terus ada ibu-ibu kecil menyusul dibelakangnya sambil membawa senter yang kecil pula, “Iya, kalau bisa jangan menggunakan hp ya. Sinarnya nanti kelihatan dari luar”. Dalam otak saya, sumpah.. Saya seperti imigran gelap.. Saya juga melihat orang-orang disekitar saya dan kami seperti korban-korban people smuggling. Haha, saya cuma bisa ketawa dan tiba-tiba Dewa nyeletuk: “Gila, seru banget yah kita malam ini”. Iyap, saya cuma bisa setuju sama Dewa, ini memang seru.
Dari stasiun ke stasiun, gerbong barang ini semakin penuh. Sampai akhirnya di Kiara Condong, ehhh ada petugas lain yang masuk ke dalam gerbong kami. Ia berteriak: “Pak, Bu ini bukan gerbong penumpang. Ini gerbong barang. Semuanya pindah dari gerbong ini, kalau tidak kereta tidak akan berangkat! Ayo ayo cepat pindah!”. Kami bertiga hanya bisa liat-liatan sambil berdiri dan merapihkan alas duduk kami, tapi kami memilih untuk tidak cepat-cepat keluar. Kami diam dibelakang, karena kami tidak ingin pindah. Petugas itu berteriak melihat kerumunan orang yang ingin keluar dari gerbong barang dan tidak bergerak-gerak, sampai akhirnya dia yang membuka jalan tersebut... Eh ternyata, kereta sudah bergerak! Hahaha, seluruh penunggu gerbong barang yang telah berdiri langsung duduk mengambil tempat dan tertawa penuh kepuasan karena kata siapa kereta tidak akan berangkat dengan adanya kami di gerbong barang? Akhirnya kami kembali duduk dengan manis di gerbong barang, menikmati kegelapan dan perjalanan kami ke Jogja akhirnya dimulai.
Selama perjalanan, kami hanya tertidur. Tidak terlalu banyak mengobrol. Yang jelas, gerbong barang semakin penuh. Awalnya, saya bisa selonjoran. Lama-lama kaki saya ditekuk, bahkan akhirnya duduk sila. Karena banyak sekali orang yang masuk ke dalam gerbong barang ini. Duduk pun sudah tidak bisa terasa nyaman. Saya berkali-kali menggeser pantat supaya mendapatkan posisi wuenak, tapi sama saja. Namanya duduk di bawah dan sempit-sempitan, mau ngarep apa sih. Akhirnya, saya tetap dalam posisi bersila. Dan berusaha untuk tidur.
TAPI ITU BULLSHIT! Saya gak bisa tidur. Kalaupun terlelap, itu hanya untuk 3 atau 5 menit, dan terbangun kembali. Ada beberapa orang yang dalam kesempitan dan kegelapan seperti ini pun memaksa untuk bisa berada dalam posisi tidur. Yah, nampaknya mereka bisa tidur. Saya akhirnya sibuk memainkan telepon genggam dan mendengarkan alunan musik dari mp3 player saya. Entah sampai jam berapa, dan saat saya cek GPS saya, saya masih ada di Garut! MEEEEEEEEEEEEEEEEEEN, baru sampai Garut? Oh tidak!
Singkat cerita, subuh menjelang dan beberapa penumpang sudah mulai turun. Gerbong barang menjadi sedikit lapang dan kaki bisa saya selonjorkan lagi. Dengan badan lepek dan mulut bau, kami mulai mengobrol lagi. Obrolan biasa dalam situasi tersebut: “Gila, punggung gw pegel banget...”, “Eh, bisa tidur gak lu?”. Seperti itu lah. Subuh menjelang, dan bapak-bapak seperti tentara (masih ingat kan?) berkata, ”bentar lagi kalian sampe”. Iya memang, menurut perhitungan kami sampai Jogja jam 6 pagi.
Begitu langit sudah sedikit terang, saya memutuskan berdiri saking sudah pegelnya duduk. Saya menatap keluar jendela, sawah hijau yang luas terhampar di depan penglihatan saya. Sayang langit pagi itu sedikit mendung, padahal saya berharap bisa melihat matahari terbit dari kereta ekonomi. Pasti akan sangat menyenangkan.
Akhirnya kami sampai di Stasiun Lempuyangan. Begitu turun, saya langsung memeluk Dewa. Entah kenapa, mungkin bahagia akhirnya bisa sampai di Jogja dengan selamat dan tanpa kurang satu apapun. Tadinya mau meluk Ariawan juga, tapi entar takutnya si Ariawan gak mau lepas pelukan saya saking empuknya saya (kebanyakan lemak), jadi saya urungkan niat saya buat meluk Ariawan.
Dan saya dalam hati berseru: “Here we come, Jogja!”. Yeah! Petualanganku di Jogja akan dimulai!
PS: Maaf tidak ada foto dalam postingan ini, karena saya sudah rebek untuk mengeluarkan kamera ditengah keruwetan yang saya alami. Haha. Mudah-mudahan gak pada bosen bacanya.
--------------------------------------------------------------------------------
Jogjakarta Part II
Jogjakarta Part III
Jogjakarta Part IV
Jogjakarta Part V
wah. Asik banget bsa jalan2 ke jogja. Jd ngiri. Boleh nih dicoba. Haha.
ReplyDelete@aldi: iya aldiiii, ke Jogjalah.. seruuu.. Nantikan cerita berikutnya!
ReplyDeletehuwooow aku yang orang jogja aja ga pernah sampe kaya gitu petualangannya haha. masih di jogja?
ReplyDeleteudah pulang aku theooo, tapi kemaren aku ketemu sama Damar.. Kalo kamu kenal juga haha, blogger juga koook... :D :D :D
ReplyDeletedamar siapa? jangan bilang damar adriatno? hahaha :p
ReplyDeletebukan theoo, ini damar cewek, anak sastra prancis UGM.. Hahaha :D Cari aja di link favorite blogku, dia juga ada disana :D
ReplyDeleteseruuu bangeeet deh ceritanyaa! hahha
ReplyDeletebikin ngerasain jugaa
cuma bertiga?? wow aje gile,, nekat bener.. hahah.. keren2,, seru banget pasti tuh,, :D
ReplyDelete@ria: iya riaaa, seru bangettt! hahaha...
ReplyDelete@sinta: iya sintaaa, cuman bertiga :))
ReplyDelete